BAB
II
PEMBAHASAN
Perspektif
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun
keyakinan tentang suatu hal, dengan perspektif orang akan memandang suatu hal
berdasarkan cara-cara tertentu. Perspektif adalah kerangka kerja konseptual,
sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia sehingga
menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu. Perspektif
membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena
yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional.
A.
Perspektif
Biologis
Model
medis, yang diilhami oleh para dokter mulai dari Hippocrates hingga kraepelin,
tetap memiliki kekuatan yang besar dalam pemahaman kontemporer tentang perilaku
abnormal. Model medis mewakili perspektif biologis tentang perilaku abnormal.
1. Sistem saraf
Sistem
saraf terbuat dari sel – sel saraf yang disebut neuron. Neuron – neuron saling
berkomunikasi satu sama lain, atau menyalurkan pesan. Setiap neuron memiliki
badan sel, atau soma, dendrit – dendrit, dan sebuah akson. Badan sel memuat
nucleus sel dan memetabolisasi oksigen untuk membawa hasil kerja dari sel.
Neuron memancarkan pesan – pesan ke neuron yang lain melalui substansi kimia
yang disebut neurotransmiter. Ketidakteraturan dalam kerja system
neurotransmitter dikotak berkaitan erat dengan pola – pola perilaku abnormal.
2. Bagian – bagian system saraf
System
saraf terdiri dari dua bagian utama, system saraf pusat dan system saraf tepi.
Kedua bagian ini juga terbagi – bagi. System saraf pusat terdiri dari otak dan
tulang belakang. System saraf tepi tersusun dari saraf – saraf yang menerima
dan menyalurkan pesan sensoris ke otak dan tulang belakang, dan menyalurkan
pesan dari otak atau tulang belakang ke otot – otot, menyebabkan mereka berkontraksi,
dan kekelenjar – kelenjar, menyebabkan mereka mensekresi hormon – hormon.
·
System saraf pusat
Bagian
bawah otak, terdiri dari medula, pons, dan serebellum. Banyak saraf yang
menghubungkan tulang belakang dengan tingkat otak yang lebih tinggi menjulur
melalui medula. Medula memainkan fungsi vital sepeti detak jantung, pernapasan,
dan tekanan darah. Pons menyalurkan informasi tentang pegerakan tubuh yang
terlibat dalam fungsi yang berkaitan dengan perhatian, tidur, dan pernapasan.
Serebelum terlibat dalam keseimbangan dan perilaku motorik.
Otak
tengah terletak di atas batang otak dan berisi jalur saraf yang menghubungkan
batang otak dengan otak tengah.
Area
penting pada bagian depan otak, adalah talamus, menyalurkan informasi sensoris
kedaerah otak yang lebih tinggi. talamus juga terlibat dalam tidur dan
perhatian. Hipotalamus, merupakan struktur kecil yang terletak antara talamus
dan kelenjar pituitary. Hipotalamus penting dalam pengaturan temperature tubuh,
konsentrasi cairan – cairan, penyimpanan nutrisi, dan motivasi serta emosi.
Serebrum, merupakan “mahkota kemenangan” dan bertanggung jawab terhadap bentuk
bulat pada kepala manusia. Permukaan serebrum disebut korteks serebral, pusat
pemikiran perencanaan, dan pelaksanaan dari otak.
·
System saraf tepi
System
saraf tepi menghubungkan otak dengan dunia luar. Dua bagian utama system saraf
tepi adalah system saraf somatic dan otonomik. System saraf somatic menyalurkan
pesan – pesan tentang penglihatan, suara, bau, posisi tubuh, suhu, dan lain
–lain ke otak. Para psikolog terutama tertarik pada system saraf otonomik
karena aktivitasnya yang berhubugan dengan respon emosional. Seperti detak
jantung, pernapasan, pencernaan, dan dilatasi pupil mata. Mengevaluasi
perspektif biologis tentang perilaku abnormal. Telah jelas diketahui
keterlibatan struktur dan proses biologis dalam berbagai pola perilau abnormal.
Faktor – faktor seperti gangguan dalam fungsi neurotransmiter dan abnormalitas
otak yang mendasar dikaitkan dengan berbagai gangguan psikologis. Namun
demikian, untuk berbagai gangguan lain penyebab yang tepat
tetap tidak diketahui. Misalnya faktor genetis atau faktor
lingkungan pembuat stress.
B.
Perspektif
Sosiologis
Perspektif
sosiologi menekankan pada konteks sosial dalam mana manusia hidup. Perspektif
sosiologi mengkaji bagaimana konteks tersebut mempengaruhi kehidupan manusia.
Perspektif sosiologi merupakan pola pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji
tentang kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses sosial kehidupan
di dalamnya. Inti dari perspektif sosiologi adalah pertanyaan bagaimana
kelompok mempengaruhi manusia, khususnya bagaimana manusia dipengaruhi
masyarakatnya
Perspektif sosiologi
: adalah sudut pandang yang berupa asumsi, nilai dan gagasan yang digunakan
oleh peneliti dalam melihat fenomena fenomena social.
Pada perkembangannya terdapat empat perspektif dalam
sosiologi, yaitu
1.
Perspektif Evolusi
Perspektif ini merupakan perspektif
teoretis yang paling awal dalam sosiologi. Penganutnya adalah Auguste Comte dan
Herbert Spencer. Perspektif ini memberikan keterangan yang memuaskan tentang
bagaimana masyarakat manusia tumbuh dan berkembang.
Para sosiolog yang menggunakan
perspektif ini mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam
masyarakat yang berbeda untuk mengetahui apakah ada urutan perubahan yang
berlaku umum. Dalam perspektif ini secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan
manusia atau masyarakat itu selalu bergerak maju (secara linear), namun ada
beberapa hal yang tidak ditinggalkan sama sekali dalam pola kehidupannya yang
baru dan akan terus dibawa meskipun hanya kecil sampai pada perubahan yang
paling baru.
2.
Perspektif Interaksi Simbolis,
Perspektif ini cenderung menolak
anggapan bahwa fakta sosial adalah sesuatu yang determinan terhadap fakta
sosial yang lain. Bagi perspektif ini, orang sebagai makhluk hidup diyakini
mempunyai perasaan dan pikiran. Dengan perasaan dan pikiran orang mempunyai
kemampuan untuk memberi makna terhadap situasi yang ditemui, dan mampu
bertingkah laku sesuai dengan interpretasinya sendiri. Sikap dan tindakan orang
tidak dipaksa oleh struktur yang berada di luarnya (yang membingkainya) serta
tidak semata-mata ditentukan oleh masyarakat. Jadi, orang dianggap bukan hanya
mempunyai kemampuan mempelajari, memahami, dan melaksanakan nilai dan norma
masyarakatnya, melainkan juga bisa menemukan, menciptakan, serta membuat nilai
dan norma sosial (yang sebagian benar-benar baru). Karena itu orang dapat
membuat, menafsirkan, merencanakan, dan mengontrol lingkungannya.
Singkatnya, perspektif ini memusatkan
perhatian pada interaksi antara individu dengan kelompok, terutama dengan
menggunakan simbol-simbol, antara lain tanda, isyarat, dan katakata baik lisan
maupun tulisan. Atau dengan kata lain perspektif ini meyakini bahwa orang dapat
berkreasi, menggunakan, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol. Tokoh-tokoh
yang terkenal sebagai penganut perspektif ini adalah George Herbert Mead dan
W.I. Thomas.
3.
Perspektif Struktural Fungsional
Dalam perspektif ini, masyarakat
dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi
dan teratur, serta memiliki seperangkat aturan dan nilai yang dianut sebagian
besar anggota masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat dipandang sebagai suatu
sistem yang stabil, selaras, dan seimbang. Dengan demikian menurut pandangan
perspektif ini, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu secara
terus-menerus, karena hal itu fungsional. Sehingga, pola perilaku timbul karena
secara fungsional bermanfaat dan apabila kebutuhan itu berubah, pola itu akan hilang
atau berubah.
Hal ini juga berarti bahwa perubahan
sosial akan mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil tersebut. Namun
tidak lama kemudian akan tercipta kembali keseimbangan. Perspektif ini lebih
menekankan pada keteraturan dan stabilitas dalam masyarakat. Lembaga-lembaga
sosial seperti keluarga, pendidikan, dan agama dianalisis dalam bentuk
bagaimana lembaga-lembaga itu membantu mencukupi kebutuhan masyarakat. Ini
berarti lembaga-lembaga itu dalam analisis ini dilihat seberapa jauh peranannya
dalam memelihara stabilitas masyarakat.
Perspektif fungsionalis menekankan
pada empat hal berikut ini.
a. Masyarakat tidak bisa hidup
kecuali anggota-anggotanya mempunyai persamaan persepsi, sikap, dan nilai.
b. Setiap bagian mempunyai
kontribusi pada keseluruhan.
c. Masing-masing bagian
terintegrasi satu sama lain dan saling memberi dukungan.
d. Masing-masing bagian memberi
kekuatan, sehingga keseluruhan masyarakat menjadi stabil.
Beberapa sosiolog pendukung perspektif
ini adalah Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K. Merton. Seorang
antropolog yang juga sangat mendukung perspektif ini, bahkan dapat dikatakan
sebagai pelopornya adalah Bronislaw Malinowsky (Polandia).
4.
Perspektif Konflik.
Perspektif ini melihat masyarakat
sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika
pemegang kekuasaan yang terus berusaha memelihara dan meningkatkan posisinya.
Perspektif ini beranggapan bahwa kelompokkelompok tersebut mempunyai tujuan
sendiri yang beragam dan tidak pernah terintegrasi. Dalam mencapai tujuannya,
suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik
selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha
meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Ciri lain dari perspektif ini adalah
cenderung memandang nilai dan moral sebagai rasionalisasi untuk keberadaan
kelompok yang berkuasa. Dengan demikian kekuasaan tidak melekat dalam diri
individu, tetapi pada posisi orang dalam masyarakat. Pandangan ini juga
menekankan bahwa fakta sosial adalah bagian dari masyarakat dan eksternal dari
sifatsifat individual. Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada studi
struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial. Ia memandang masyarakat terus-
menerus berubah dan masing-masing bagian dalam masyarakat potensial memacu dan
menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial,
perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan. Tokoh yang menganut
perspektif ini adalah Karl Marx dan Frederich Engles.
C. Perspektif Psikologis
1.
Model – model psikodinamika
Teori
psikodinamika didasarkan pada kontribusi Sigmund freud dan para pengikutnya. Model
psikodinamika ini didasarkan pada keyakinan bahwa masalah psiologis adalah
akibat dari konflik psikologis diluar alam sadar yang dapat dilacak pada masa kecil.
2. Model – model belajar
Teori
psikologi lain yang relevan juga terbentuk diawal abad 20 adalah perspektif
behavioral. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam
menjelaskan perilaku normal atau abnormal. Dari perspektif belajar, perilaku
abnormal mencerminkan perolehan, atau pembelajaran dari perilaku yang tidak
sesuai dan tidak adaptif. Dari pandangan belajar, perilaku abnormal bukanlah
sintomatik dari apapun. Perilaku abnormal itu sendiri merupakan masalah.
Perilaku abnormal dianggap sebagai sesuatu yang dipelajari dengan cara yang
sama sebagaimana perilaku normal. Watson dan teoretikus behavioristik lainnya,
meyakini bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis dan
pengaruh lingkungan. Sebagaimana freud, Watson tidak menggunakan konsep
kebebasan pribadi, pilihan, dan self-direktion. Teoritikus behavioristik
melihat kita sebagai hasil pengaruh lingkungan yang membentuk dan memanipulasi
perilaku kita. bagi Watson, keyakinan bahwa kita memiliki kehendak yang bebas
ditentukan oleh lingkungan. Watson berfokus pada peran dari dua bentuk utama
dari belajar dalam membentuk perilaku normal dan abnormal yaitu, classacal
conditioning dan operant conditioning.
3. Model – model humanistic
Suatu
kekuatan ketiga dalam psikologi modern muncul pada abad pertengahan ke 20,
yaitu psikologi humanistic. Para teoritikus humanistic seperti carl rogers
(1902 – 1987) dan Abraham maslow (1908 – 1970) meyakini bahwa perilaku manusia
tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik – konflik yang tidak disadari
maupun conditioning yang sederhana. Teori ini menyiratkan penolakan terhadap
pendapat bahwa perilaku manusia semata – mata ditentukan oleh factor diluar
dirinya, para teoritikus melihat orang sebagai aktor dalam drama
kehidupan, bukan reactor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Mereka
berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subjektif dan self
direktion humanistic. Psikologi humanistic berhubungan erat dengan aliran
filosofis eropa yang disebut sebagai eksistensialisme. Para eksistenssialis
meyakini bahwa kemanusiaan kita membuat kita bertanggung jawab atas arah yang
akan diambil dalam kehidupan kita.
Para
humanis mempertahankan bahwa orang memiliki kecenderungan untuk melakukan self
-actualization untuk berjuang menjadi apa yang mereka mampu. Tiap orang
memiliki serangkaian perangai dan bakat – bakat yang mendasari perasaan dan
kebutuhan individual serta memberikan perspektif yang unik dalam hidup kita.
Meski pada akhirnya tiap manusia mati, namun masing – masing dapat mengisi
kehidupan dengan penuh arti dan tujuan apabila kita mengenali dan menerima
kebutuhan dan perasaan terdalam kita. Untuk memahami perilaku abnormal dalam
pandangan humanistic, kita perlu untuk memahami penghambat yang dihadapi orang
dalam berjuang mencapai self-actualization dan keautentikan. Untuk mencapai hal
ini, psikolog harus belajar memandang dunia dari perspektif klien. Karena
pandangan subyektif klien tentang dunianya sendiri menginterpretasi
dan mengevaluasi pengalaman mereka baik dengan cara yang bersifat
self-enhancing atau self-defeating.
4. Model-model kognitif
Kata
kognif berasal dari kata latin cognition,yang berarti pengetahuan. para
teorinitis kognitif mempelajari kognisi (pikiran-pikiran), keyakinan, harapan,
dan sikap-sikap yang menyertai dan mungkin mendasari perilaku abnormal.mereka
berfokus pada bagaimana realitas diwarnai oleh harapan-harapan dan sikap kita
dan bagaimana tidak akurat atau biasanya pemprosesan informasi tentang dunia dan tempat kita di dalamnya dapat
menimbulkan perilaku abnormal. Para teoritis kognitif menyakini bahwa
interpretasi kita dalam kehidupan kita dan bukan peristiwa itu
sendiri,menentukan keadaan emosional kita. Beberapa model kognitif yang paling
menonjol dari pola-pola perilaku abnormal adalah pendekatan pemprosen informasi
dan model-model yang dikembangkan oleh psikolog Albert Ellis dan psikiater
Aaron Beck.
D. Perspektif Budaya
Kebudayaan adalah sebuah proses pergulatan
abadi untuk menyingkapkan universalitas. Dengan demikian putik-putik kebudayaan
merupakan mula tanggap terhadap seluruh fenomena kehidupan yang teraktualisasi
dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam ranah
antropologi, kebudayaan memiliki 3 institusi inti yang terdiri atas: ideologi,
organisme, dan teknoekonomi.
Jika ideologi terdiri atas dimensi cita-cita,
keyakikan-keyakinan, dan nilai-nilai dasar yang hendak dijunjung tinggi bersama
sebagai acuan moral bertindak, maka organisme telah menjelma dalam bentuk
organisasi sosial dan politik pada masyarakat kontemporer. Sedangkan teknoekonomi
berupa cara-cara manusia beradaptasi dan mengeksploitasi alam guna mewujudkan
cita-citanya.
Dengan demikian, kebudayaan adalah sebuah
proses kesadaran manusia untuk menyikapi situasi kongkrit secara langsung.
Dalam dinamikanya, kebudayaan juga merupakan sebuah proses menjawab pertanyaan
terdalam tentang makna, rasionalitas, dan tentang manusia pada umumnya. Ketika
kebudayaan tidak mampu menggapai makna dan peran rasionalitas yang semestinya
menggerakkan dan mendasari perkembangan peradaban manusia, maka kebudayaan
mengalami invalid pada dirinya sendiri. kebudayaan semestinya merupakan sebuah
proses menggali dan menemukan makna guna menjawab pertanyaan-pertanyaan
universal dalam ranah rasionalitas.
Dalam proses itu, akan ditemukan sintesa dari
seluruh antitesa yang pada akhirnya akan menggerakkan akal budi menterjemahkan
persepsi-persepsi yang masih bersifat postulat. Dalam dimensi ini, kebudayaan
mempunyai misi penting dalam mendorong kearah sinkretisme dari seluruh usaha
menemukan dan memformulasikan segi-segi humanitas dalam rangka mewujudkan hidup
yang bahagia.
Sayangnya, dalam sejarah peradaban manusia,
teknoekonomilah yang paling cepat membentuk cirri-ciri strategis sebuah
masyarakat. Dengan demikian, jika kita hendak mengembalikan fungsi kebudayaan
bagi kehidupan manusia, maka kita perlu mendasari gerakan kita lewat pemahaman
secara menyeluruh tentang teknoekonomi. Di sini, titik balik kebudayaan
diperlukan agar kebenaran yang selama ini terwacanakan secara episteme dan
secara doxa menjadi relevan untuk dikembalikan pada asal muasal filosofisnya.
Disinilah pentingnya kegunaan seluruh refleksi
filosofis bagi kehidupan politik sehari-hari. Sebab, masalah diskontinyuitas
kebudayaan dan konsep tentang kebenaran yang selama ini erat kaitannya dengan
kekuasaan dan pengetahuan, telah melahirkan konsep tentang ideologi yang
merepresi. Disini timbul pertanyaan siapakah figur yang berbicara benar dalam
kapasitasnya sebagai guru kebenaran dan keadilan? Sebab, ketika kebenaran
dimengerti sebagai sebuah sistem dan prosedur teratur produksi, regulasi,
distribusi, sirkulasi dan operasi pernyataan-pernyataan, maka kebenaran selalu
berhubungan secara melingkar dengan sistem kekuasaan.
Pada akhirnya, kebenaran yang dihasilkan dan
dijaga keberlangsungannya dalam tubuh sosial oleh sistem kekuasaan, akan
menjelma sebagai ‘rezim” kebenaran. Rezim kebenaran itu bukanlah semata-mata
ideologis maupun berupa superstruktural, melainkan sebuah kondisi yang berasal
dari paham kapitalisme. Masalah politis ini menunjukkan secara nyata bahwa
kebenaran erat kaitannya dengan kuasa dan pengetahuan. Oleh sebab itu, status
kebenaran seperti itu perlu digugat karena apa yang selama ini diyakini sebagai
sesuatu yang benar adalah buatan manusia lewat kuasa dan pengetahuan yang
dimilikinya.
E.Perspektif Agama
Kesehatan
Mental Dalam Perspektif Agama sudah dipikirkan para
ahli sejak dulu. Sebenarnya pendekatan agama dalam penyembuhan gangguan
psikologis merupakan bentuk penyembuhan yang paling tua. Telah beberapa abad
lamanya para nabi atau para penyebar agama melakukan peranan-peranan
therapeutic, terutama dalam menyembuhkan penyakit-penyakit rohaniah umatnya.
Metode pengobatan lainnya yang digunakan dalam menyembuhkan gangguan mental
diantaranya yaitu Syahadat, Iman dan takwa, Silaturahmi, Amal saleh, sabar, dan
salat.
Kesehatan mental dalam perspektif
agama, ada kecenderungan bahwa orang-orang di zaman modern ini
semakin rindu atau haus akan nilai-nilai agama, sehinga tausiyah,
nasihat, atau kesempatan dialog dengan para kyiai, ustadz sangat diharapkannya.
Mereka merindukan hal itu dalam upaya mengembangkan wawasan agamanya atau
mengatasi masalah-masalah kehidupan yang sulit diatasinya tanpa nasihat
keagamaan tersebut.
Oleh karena itu, Sebagai petunjuk hidup bagi
manusia dalam mencapai mentalnya yang sehat, agama berfungsi sebagai berikut :
·
Memelihara fitrah, manusia yang telah bertakwa kepada Tuhan berarti dia
telah memelihara fitrahnya sehingga manusia dapat menghindarkan diri dari
perbuatan dosa.
·
Memelihara jiwa
·
Memelihara akal
·
Memelihara keturunan
Para
ahli juga mengemukakan pendapat tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental sebagai
berikut.
·
William James berpendapat bahwa keimanan pada Tuhan adalah terapi
terbaik bagi keresahan dan merupakan penopang hidup.
·
Carl G. Jung mengemukakan bahwa yang menyebabkan pasien terjangkit
penyakit adalah hilangnya dasar – dasar agama mereka dan mereka akan sembuh
setelah mereka kebali kepada wawasan agama.
·
A. A Briel mengatakan bahwa individu yang benar – benar religius tidak
akan pernah menderita sakit jiwa.
·
Shelley E. Taylor mengemukakan beberapa hasil penelitian para ahli
tentang dampak positif agama terhadap kesehatan mental dan kemampuan mengatasi
stress yang diantaranya sebagai berikut:
·
Palaotzian dan Kirkpatrick mengemukan bahwa agama dapat meningkatkan
kesehatan mental dan membantu individu untuk mengatasi stress.
·
Ellison mengemukakan bahwa agama dapat mengembangkan kesehatan
psikologis banyak orang, orang yang kuat imannya akan lebih bahagia dan lebih
sedikit mengalami dampak negatif dari kehidupan.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap kesehatan mental individu. Adapun pribadi yang sehat mentalnya menurut
perspektif agama diantaranya yaitu:
·
Beriman kepada Allah dan taat mengamalkan ajarannya.
·
Jujur, amanah (bertanggung jawab) dan ikhlas dalam beramal.
Selain
itu, dalam bukunya Kesehatan
Mental, Prasojo
menjelaskan prinsip-prinsip kesehatan mental kaitannya dengan agama yang
didasarkan pada hubungan manusia dengan Tuhan, adalah sebagai berikut:
·
Kestabilan mental tercapai dengan perkembangan kesadaran seseorang
terhadap sesuatu yang lebih luhur daripada dirinya sendiri tempat ia bergantung
kepada Tuhan.
·
Kesehatan mental dan ketenangan batin (equanimity) dicapai dengan
kegiatan yang tetap dan teratur dalam hubungan manusia dengan Tuhan, seperti
melalui sholat dan berdoa.
KESIMPULAN
Perspektif adalah
kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi
perspektif manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi
tertentu.
Ada beberapa jenis
perspektif diantaranya adalah Perspektif biolgis Model
medis mewakili perspektif biologis tentang perilaku abnormal yaitu sistem
saraf, bagian - bagian system saraf (system syaraf pusat dan system syaraf
tepi). Perspektif sosiologi merupakan pola
pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang kehidupan masyarakat dengan
segala aspek atau proses sosial kehidupan di dalamnya. Perspektif psikologis
yang didalam nya ada (model psikodinamika, model belajar, model
humanistic, model kognitif). Perspektif budaya, dan perspektif agama bahwa agama mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap kesehatan mental individu.

PERSPEKTIF KONTEMPORER
TENTANG
PERILAKU TIDAK SEHAT
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Mental
Disusun oleh :
1.
Tara Gheasanti Nurtiffany ( 1301413046)
2.
Sonia Marda ( 1301413049)
3.
Anas Ainatun (
1301413053)
4.
Hanum Isnia Rachmi ( 1301413057)
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
DAFTAR PUSTAKA
Nevid, J.S dkk. 2005.
Psikologi Abnormal Jilid I Jakarta : Erlangga
RSS Feed
Twitter
3:46 AM
Unknown
Posted in
0 comments:
Post a Comment